Widget HTML Atas

Perjuangan Ibu Sahari Demi Kemajuan Anak Di Pelosok Negeri



Menjadi guru adalah panggilan jiwa. Jika seorang menjadi guru karena panggilan jiwanya, maka tak ada alasan baginya untuk berhenti mengajar dan mendidik siswanya agar menjadi manusia yang berguna bagi orang lain. Jika mengajar adalah panggilan jiwa, gunung dan jurang bukan alasan untuk datang terlambat ke sekolah.

Itulah gambaran dengan Sahari, seorang guru honorer di Kampung Bung, Kelurahan Bontoa, Kecamatan Minasa’Tene, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Kampung Buung sendiri adalah sebuah wilayah terisolir yang terletak di sebelah timur ibu kota Kabupaten Pangkep. Kampung yang dihuni sekitar 50an kepala keluarga ini merupakan wilayah pegunungan. Untuk sampai di Kampung ini, tak ada akses jalanan untuk kendaraan, siapa pun yang mau ke sana harus berjalan kaki paling cepat 90 menit. 

Tak ada keluhan, yang tampak dari raut wajahnya adalah semangat hidup. Kedua bola matanya bersinar menyala-nyala menceritakan kisahnya menjadi guru honor di tempat terpencil.

SDN 60 Kampung Buung merupakan Sekolah yang menjadi tempat mengajar Bu Guru Sahari. Tak ada jaringan seluler di sana, apalagi sinyal wifii. Sebelumnya ia mengajar di SDN 60 Bung, bu Guru Sahari sudah melanglang buana mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar, awal karirnya sebagai guru Hononer mulai di Kota Makassar. Pada tahun 1999 ia mengajar di SD Galangan, lalu pindah mengabdikan diri di Pangkep di TK Pertiwi Pangkep anak ranting Sapanang dan pada tahun 2008 ia pindah mengajar di SDN 60 Buung sampai sekarang. 

Tepat tahun 2022 ibu Guru Sahari sudah mengabdikan diri selama 23 tahun, guru honorer yang bergaji Rp100 ribu sebulan yang diterimanya setiap triwulan ini menghabiskan waktunya mengajar di kampung yang berada di atas gunung ini. Sembilan tahun dia habiskan menjadi Guru Honorer di Kota dan sisanya di SD Kampung Buung, tempatnya sekarang. Status guru Honorer dengan gaji Rp100/bulan tidak cukup untuk menafkahi diri dan keluarga. 

"Saya cuma digaji dari dana BOS, dana BOS itu kan besarannya berdasarkan dari jumlah siswa, sementara siswa di Sekolah saya sedikit jadi gaji yang saya terima juga sedikit" Terangnya.

Kala pagi-pagi buta, ia dengan jaket dan sepeda motornya melaju menembus dingin udara pagi untuk pergi mengajar dan tiba di Kaki gunung, dari sini perjalanan sesungguhnya barulah dimulai. Ia harus berjalan kaki menuju puncak gunung. Jalan rusak atau hujan tak menghentikannya untuk segera sampai di sekolah. Wajah lugu bocah pedalaman yang tersenyum menyambutnya setiap pagi menjadi semangat untuk segera sampai di sekolah yang hanya mempunyai tiga ruang kelas tersebut. 

“Saya selalu rindu sama anak-anak. Sambutan mereka setiap pagi menjemput saya seperti energi baru. Capekku’ langsung hilang,” kata bu Sari tersenyum.

"Saya pernah berkata kepada anak-anak, saya mau berhenti mengajar, tapi anak-anak pada menangis memeluk saya, katanya ibu jangan berhenti di situlah saya mengurungkan niat untuk tidak berhenti karena kalau saya berhenti anak-anak ibarat anak ayam yang kehilangan Induknya, mungkin saya ditakdirkan mengajar di kampung terpencil, sebelum di Bung saya sudah 3 kali pindah sekolah. Saya jalani saja, saya ikhlas,” ujarnya.

Ia berkisah pernah suatu waktu saat ia pulang mengajar dari kampung Buung, dalam perjalanan ia diguyur hujan deras sambil berjalan kaki menelusuri hutan belantara Kampung Buung yang terkadang ada hewan liar babi dan ular yang bisa membahayakan nyawanya.

“Saya berjalan kaki di tengah hutan tiba-tiba hujan deras dan gelap, seketika saya panik karena saya berjalan sendirian, mau menelepon suami saya untuk menjemput tidak bisa karena hape saya lobet karena di rumah dinas saat itu belum ada listrik jadi tidak bisa cas hape, di sanalah saya terdiam dan berdoa ya Allah lindungilah saya semoga tidak terjadi apa-apa denganku” Tuturnya.

Sebenarnya Sahari adalah guru kelas 1, di SDN 60 Bung terdapat 8 tenaga pengajar, 3 Orang PNS, 2 orang guru P3K dan 3 lainya guru Honorer, sedangkan untuk jumlah siswa 50 Orang. 
Untuk menutupi kebutuhan hidup bersama keluarga, Sahari juga harus bertani bersama suaminya. Sepetak sawah dan kebun milik saudaranya ditanaminya palawija seperti ubi dan padi. 

Berstatus guru honor, tak membuatnya patah semangat. Baginya menjadi guru bukan soal mengejar status tapi bagaimana mewujudkan niat. Dan hal itu dibuktikannya dengan sungguh-sungguh. Baginya mengajar dan mendidik anak-anak kampung di pedalaman bagi Bu Sahari bukan hanya kewajiban tapi sebuah kehormatan.

“Tidak semua orang diberi kesempatan berbagi ilmu dengan orang kesulitan mengakses ilmu, mengajar di sana adalah kehormatan besar. Saya berharap suatu waktu nanti ada murid saya yang jadi pejabat di kota,” pungkasnya.

Diketahui bahwa pada tahun 2014 Sahari pernah lulus K2 namun sampai saat ini ia belum menerima SK, dan baru-baru ini ada pendaftaran guru PPPK (P3K) namun ia tidak dapat mendaftar karena Sahari hanya mengantongi Ijazah D2 sedangkan untuk masuk jadi guru PPPK harus memiliki Ijazah S1. Ia juga sudah pupus harapan untuk melanjutkan Pendidikan ke jenjang S1 untuk penuhi syarat menjadi guru PPPK karena kini usianya sudah masuk 56 tahun. 

“Saya mau kuliah untuk dapat ijazah S1 untuk mendaftar guru PPPK sudah tidak dapat karena usia saya, jika saya kuliah saya harus menghabiskan waktu kurang lebih 4 tahun sementara kini usia saya sudah masuk 56 tahun, yang artinya saat saya selesai kuliah saya sudah masuk usia pensiun jadi otomatis tidak dapat mendaftar guru PPPK” Jelasnya.

Lanjut Sahari juga sangat berharap agar ia bisa diangkat menjadi PNS oleh pemerintah atas jasa-jasa pengabdiannya menjadi Guru Honorer selama 23 tahun.

“Saya sangat berharap saya bisa dapat SK PNS dari pemerintah biar dimasa akhir pengabdian saya nanti saya bisa menikmati gaji pensiun” Tuturnya.

Sahari yang dikarunia 5 orang anak kini 3 anaknya sudah bekerja, anak pertamanya Saeful Alam Hariyono sekarang ia sama-sama mengajar di Kampung Buung juga sebagai guru Honorer di SMPN 4 Satap Minasatene. Anak Kedua Nur Alam Fajar Pendidikan S2 saat ini bekerja di Pasca Sarjana UNM sebagai tenaga kontrak Administrasi, Anak ketiga Nur Syafar pendidikan S1 saat ini kontrak di PT Telkom sebagai sekuriti, anak keempat Nur Hikmah yanti pendidikan S1 saat ini berstatus Hononer di PU Kab Pangkep dan anak kelima Nur Asisa saat ini masih menjalani pendidikan semester 5 di UNM jurusan Ekonomi Pembangunan, dan suami dari ibu Sahari Fatahuddin umur 58 tahun mantan karyawan Perusahaan tambang di Pangkep dan kini sudah 3 tahun tak bekerja lagi. 

Ini adalah berkah walaupun ia bergaji Rp100/bulan tidak ada yang sia-sia karena ketika kita berbuat baik maka kehidupan akan memberikan hal baik untuk kita termasuk dari anak-anak ibu Sahari yang pada akhirnya anak-anak ibu Sahari bisa lulus kuliah dan dapat mengangkat derajat keluarganya. Ia bisa menyekolahkan anak-anaknya sehingga bisa selesai sekolah di Perguruan tinggi atas bantun dari saudara dan bea siswa yang ia dapatkan. (*Hasbi)

Andi Hasbi Jaya
Andi Hasbi Jaya Adalah seorang blogger sekaligus Konten Creator dengan latar belakang ilmu kependidikan yang menekuni bisnis internet sejak tahun 2008 dan sesekali menulis di beberapa blog miliknya, dan konsisten mengembangkan Channel Youtube pribadinya "HasbiTubeHD". saat ini ia tinggal di Makassar, menjalani hidup yang indah sebagai Ayah untuk 3 orang anak dan suami untuk seorang bidadari.

No comments for "Perjuangan Ibu Sahari Demi Kemajuan Anak Di Pelosok Negeri "